Kamis, 07 Mei 2015

Makalah Fiqih Muamalah



MAKALAH FIQIH MUAMALAH

PERDAGANGAN ATAU JUAL BELI


Disusun Oleh

Siti Farida               :       1441020075





JURUSAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
IAIN RADEN INTAN LAMPUNG
T.A 2014/2015


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Muamalah yang berasal dari bahasa Arab  yang secara etimologi sama dan semakna dengan al-mufa’alah (saling berbuat), kata ini menggambarkan suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dengan seseorang atau beberapa orang dalam memenuhi kebutuhan masing-masing.
Disadari bahwa manusia sebagai subyek hukum tidak mungkin hidup di alam ini sendiri saja, tanpa berhubungan sama sekali dengan manusia lainnya. Eksistensi manusia sebagai makhluk sosial sudah merupakan fitrah yang ditetapkan Allah bagi mereka. Satu hal yang paling mendasar dalam memenuhi kebutuhan seorang manusia adalah adanya interaksi sosial dengan manusia lain. Dalam kaitan ini, Islam datang dengan dasar-dasar dan prinsip-prinsip yang mengatur secara baik persoalan-persoalan muamalah yang akan dilalui oleh setiap manusia dalam kehidupan sosial[1].
Makalah ini akan membahas tentang salah satu muamalah yaitu ba’i (perdagangan/ jual beli) baik dari pengertian, dasar hukum, syarat dan rukunnya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari jual beli ?
2.      Apa dasar hukum jual beli ?
3.      Apa saja rukun dan syarat jual beli ?
4.      Apa saja bentuk-bentuk dari jual beli ?
C.     Tujuan Penulisan
Dapat mengetahui definisi dari jual beli, dasar hukum dan hukum jual beli, serta tahu apa saja syarat dan rukun jual beli. Dan juga agar dapat mengetahui macam-macam dari jual beli.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Jual Beli
Menurut etimologi jual beli diartikan muqobalatusy syai’i bisy syai’i, yang artinya pertukaran sesuatu dengan sesuatu yang lain[2].
Jual beli dalam istilah fiqih disebut dengan al-ba’i yang berarti menjual, mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Lafal al-ba’ dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yakni kata asy-syira’ (beli). Dengan demikian, kata al-bai’ berarti jual, tetapi sekaligus juga berarti beli[3].
Kata lain dari al-bai’ adalah at-tijarah dan al-mubadalah. Berkenaan dengan kata at-tijarah, dalam Q.S Fathir : 29 dinyatakan :
 (Artinya : mereka mengharapkan tijarah ( perdagangan ) yang tidak akan rugi).
Secara terminologi, terdapat beberapa definisi jual beli yang dikemukakan oleh ulama fiqh, yaitu[4] :
a.       Menurut ulama hanafiyah
Saling menukar harta dengan harta melalui cara tertentu
b.      Menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu
Pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan
c.       Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mugni :
Pertukaran harta dengan harta, untuk saling menjadikaan milik
Jual beli adalah menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan[5].

B.     Dasar Hukum Jual Beli
1.      Al-Qur’an
Ø  Al-Baqarah : 275
وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.

Ø  Al-Baqarah : 282
Ø  An-Nisa’ : 29
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (An-Nisa: 29).
2.      As-Sunnah
Ø  Hadis dari Rifa’ah ibn Rafi’
“dari Rifa’ah bin Rafi’ ra.: bahwasannya Nabi Saw. Ditanya: pencarian apakah yang paling baik? Beliau menjawab: “Ialah orang yang bekerja dengan tangannya dan tiap-tiap jual beli yang bersih”. (H.R Al-Bazzar dan disahkan Hakim).
Ø  Hadis yang diriwayatkan oleh Baihaqi, Ibn Majah, dan Ibn Hibban
sesungguhnya jual beli itu hanya sah jika suka sama suka (saling meridhoi) (HR. Ibnu Hibban dan Ibnu Majah).
Ø  Dalam Riwayat Tirmidzi

C.     Rukun dan Syarat Jual Beli[6]
Jumhul Ulama menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat, yaitu :
1.      Ada orang yang berakad atau al-muta’aqidain ( penjual dan pembeli ).
2.      Ada Shighat ( lafal ijab dan qabul ).
3.      Ada barang yang di beli.
4.      Ada nilai tukar pengganti barang.
Adapun syarat sesuai dengan rukun jual beli yang dekemukakan jumhur ulama diatas adalah :
1)      Syarat orang yang berakad
a.       Berakal
b.      Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda
2)      Syarat yang terkait dengan Ijab Qabul
a.       Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal
b.      Qabul sesuai dengan ijab
c.       Ijab dan Qabul dilakukan dalam satu majelis
3)      Syarat barang yang diperjualbelikan
v  Barang itu ada, atau tidak ada di tempat, tetapi pihak penjual menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu.
v  Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia.
v  Milik seseorang.
v  Boleh diserahkan saat akad berlangsung, atau pada saat yang disepakati bersama ketika transaksi berlangsung.
4)      Syarat-syarat nilai tukar ( harga barang )
Terkait dengan masalah nilai tukar barang ini, para ulama fiqh membedakan ats-tsaman dengan as-si’r. Menurut mereka, ats-tsaman adalah harga pasar yang berlaku ditengah-tengah masyarakat secara aktual, sedangkan as-si’r adalah modal yang seharusnya diterima para pedagang sebelum dijual ke konsumen. Oleh sebab itu, harga yang dapat dipermainkan para pedagang adalah ats-tsaman. Para ulama fiqh mengemukakan syarat-syarat nya sebagai berikut :
a.       Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya
b.      Boleh diserahkan pada waktu akad, sekalipun secara hukum, seperti pembayaran dengan cek dan kartu kredit. Apabila harga barang itu dibayar kemudian ( berutang ), maka waktu pembayarannya harus jelas.
c.       Apabila jual beli dilakukan dengan saling bertukar barang, maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang diharamkan syara’.

D.    Bentuk-bentuk Jual Beli[7]
Ulama Hanafiyah membagi jual beli dari segi sah atau tidaknya menjadi tiga bentuk, yaitu :
1.      Jual beli yang shahih
Yaitu apabila jual beli itu di syari’atkan, memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan; bukan milik orang lain, tidak tergantung pada khiyar[8]  lagi.
2.      Jual beli yang batal
Jual beli dikatakan sebagai jual beli yang batal apabila salah satu atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi, atau jual beli yang dilakukan anak-anak, orang gila, atau barang- yang dijual itu adalah barang yang diharamkan oleh syara’, seperti bangkai, darah, babi, dan khamar.
Jenis-jenis jual beli yang batil adalah :
a.       Jual beli sesuatu yang tidak ada.
b.      Menjual barang yang tidak boleh diserahkan kepada pembeli, seperti menjual barang yang hilan.
c.       Jual beli yang mengandung unsur penipuan, yang pada lahirnya baik tetapi ternyata dibalik itu terdapat unsur penipuan.
d.      Jual beli benda-benda najis
e.       Jual beli al-arbuni yaitu jual beli yang bentuknya dilakukan melalui perjanjian, pembeli membeli sebuah barang dan uangnya seharga barang tersebut diserahkan kepada penjual, dengan syarat apabila pembeli tertarik dan setuju maka jual beli sah, tapi jika pembeli tidak setuju dan barang dikembalikan, maka uang yang telah diberikan kepada penjual menjadi hibah bagi penjual.
f.       Memperjualbelikan air sungai, air danau, air laut, dan air yang tidak boleh dimiliki oleh seseorang; karena air yang yang tidak dimiliki oleh seseorang merupakan hak bersama umat manusia, dan tidak boleh diperjualbelikan.
3.      Jual beli fasid[9]
Ulama Hanafiyah membedakan jual beli fasid dengan jual beli yang batal. Apabila kerusakan dalam jual beli itu terkait dengan barang yang dijualbelikan, maka hukumnya batal ( seperti memperjualbelikan barang haram ). Apabila kerusakan pada jual beli itu menyangkut harga barang dan boleh diperbaiki, maka jual beli itu dinamakan fasid.
Diantara jual beli fasid menurut ulam hanafiyah adalah :
a.       Jual beli yang dilakukan oleh orang buta
b.      Barter dengan barang diharamkan
c.       Jual beli anggur dan buah-buahan lain untuk tujuan pembuatan khamr
d.      Jual beli sebagian barang yang sama sekali tidak bisa dipisahkan dari satuannya
e.       Jual beli buah-buahan atau padi-padian yang belum sempurna matangnya untuk dipanen.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Jual beli adalah menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan.
Jumhul Ulama menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat, yaitu :
Ø  Ada orang yang berakad atau al-muta’aqidain ( penjual dan pembeli ).
Ø  Ada Shighat ( lafal ijab dan qabul ).
Ø  Ada barang yang di beli.
Ø  Ada nilai tukar pengganti barang.
Bentuk-bentuk Jual Beli :
1.      Jual beli shahih
2.      Jual beli batal
3.      Jual beli fasid


DAFTAR PUSTAKA

Haroen, Nasrun, Fiqih Muamalah, Gaya Media Pratama, 2007, Jakarta.
Syafe’i, Rachmat, Fiqih Muamalah, Pustaka Setia, 2001, Bandung.
Suhendi, Hendi, Fiqih Muamalah, Rajawali Press, 2010, Jakarta.


[1] Nasrun Haroen,Fiqih Muamalah,[Jakarta: Gaya Media Pratama,2007] h.viii
[2] Rachmat Syafe’i,Fiqih Muamalah,[Bandung:Pustaka Setia,2001]h.73
[3] Nasrun Haroen,Op Cit, h.111
[4] Rachmat Syafe’i,Op Cit, h.73-74

[5] Hendi Suhendi,Fiqih Muamalah,[Jakarta:Rajawali Pers,2010]h.67
[6] Nasrun Haroen,Op Cit, h.114
[7] I b i d, hal.121
[8] Kata al-khiyar dalam bahasa arab berarti pilihan,yaitu hak pilih bagi salah satu atau kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi untuk melangsungkan atau membatalkan transaksi yang disepakati sesuai dengan kondisi masing-masing pihak yang melakukan transaksi.
[9] Fasid berasal dari bahasa arab fasada yang berarti rusak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar