MAKALAH TASAWUF
QONA'AH
Disusun Oleh
Siti Farida : 1441020075
JURUSAN
PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
FAKULTAS DAKWAH
DAN ILMU KOMUNIKASI
IAIN RADEN
INTAN LAMPUNG
T.A 2014/2015
QONA’AH
Manusia sering kali lupa atas nikmat yang Allah
berikan, karena kebanyakan manusia melupakan dan selalu merasa kurang atas apa
yang ia miliki, sehingga ia selalu diliputi perasaan iri dan dengki atas nikmat
yang orang lain dapatkan, dan menjadikan kehidupannya tidak tenang. Hal ini
merupakan kecenderungan manusia yang selalu tidak akan merasa puas dengan apa
yang ia miliki. Padahal jika kita mau mensyukuri apa yang ada pada diri kita,
terlebih lagi memahami bahwa semua yang ada di dunia ini hanyalah titipan dan
cobaan .
Nabi
Muhammad SAW telah mengajarkan kepada
kita bagaimana kita harus bersikap terhadap harta, yaitu menyikapi harta dengan
sikap qana’ah (kepuasan dan kerelaan). Sikap qana’ah ini harus dimiliki oleh
orang yang kaya maupun orang yang miskin adapun wujud qana’ah yaitu merasa
cukup dengan pemberian Allah, tidak tamak terhadap apa yang dimiliki manusia,
tidak iri melihat apa yang ada di tangan orang lain dan tidak rakus mencari
harta benda dengan menghalalkan segala cara.
Sebagai manusia kita memang mempunyai banyak kebutuhan, baik kebutuhan
materiil maupun imateril, namun kita perlu menyadari bahwa harta bukanlah
segala-galanya dalam kehidupan dunia yang sementara ini.
A. Pengertian Qona’ah
Qana’ah menurut bahasa adalah merasa cukup atau rela, sedangkan menurut
istilah ialah sikap rela menerima dan
merasa cukup atas hasil yang diusahakannya serta menjauhkan diri dari dari rasa
tidak puas dan perasaan kurang. Rasulullah mengajarkan kita untuk ridha dengan
apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT, baik itu berupa nikmat kesehatan,
keamanan, maupun kebutuhan harian.[1]
Qanaah berasal dari kata qāni'a-qanā'atan yang artinya merasa cukup atau
rela. Sedangkan menurut istilah adalah sikap rela menerima dan merasa cukup
atas apa yang telah dimilikinya serta menjauhkan diri dari sifat tidak puas dan
merasa kurang.[2]
Qona’ah
adalah gudang yang tidak akan habis. Sebab, Qona’ah adalah kekayaan jiwa. Dan
kekayaan jiwa lebih tinggi dan lebih mulia dari kekayaan harta. Kekayaan jiwa
melahirkan sikap menjaga kehormatan diri dan menjaga kemuliaan diri, sedangkan
kekayaan harta dan tamak pada harta melahirkan kehinaan diri.[3]
Di antara
sebab yang membuat hidup tidak tentram adalah terperdayanya diri oleh kecintaan
kepada harta dan dunia. Orang yang diperdaya harta akan senantiasa merasa tidak
cukup dengan apa yang dimilikinya. Akibatnya,dalam apa yang dirinya lahir
sikap-sikap yang mencerminkan bahwa ia sangat jauh dari rasa syukur kepada
Allah, Sang Maha Pemberi Rezeki itu sendiri. Ia justru merasa kenikmatan yang
dia peroleh adalah murni semata hasil keringatnya, tak ada kesertaan Allah.
Orang-orang yang terlalu mencintai kenikmatan dunia akan selalu terdorong untuk
memburu segala keinginannya meski harus menggunakan segala cara seperti
kelicikan, bohong, mengurangi timbangan dan sebaginya. Ia juga tidak pernah
menyadari, sesungguhnya harta hanyalah ujian sebagaimana firman Allah ;
Artinya ;"Maka apabila manusia ditimpa bahaya ia
menyeru Kami, kemudian apabila Kami berikan kepadanya ni'mat dari Kami ia berkata:"Sesungguhnya
aku diberi ni'mat itu hanyalah karena kepintaranku". Sebenarnya itu adalah
ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui" (Q.S
Azumar; 49)
B.
Dasar Hukum Qona’ah
v Al-Qur’an
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan
sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan
berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Al Baqarah
: 155 )
v Hadis
عن ابى هرىرة رضى الله عنه عن النبي
صلى الله عليه و سلم قال : ليس الغنى عن كثرة العرض ولكن الغنى غنى النفس.(متفق
عليه)
Dari Abu Hurairah R.A berkata, Nabi SAW bersabda: bukannya kekayaan itu
karena banyaknya harta dan benda, tetapi kekayaan yang sebenarnya ialah
kekayaan hati. (Muttafaqun Alaih)
عن عبد الله ابن عمرو رضى الله عنهما
: ان رسول الله صلى الله عليه و سلم. قال: قد افلح من اسلم ورزق
كفافا وقنعه الله
بما اتاه. (رواه مسلم)
Dari
Abdillah bin Amr sesungguhnya Rasulullah saw bersabda; sungguh beruntung orang
yang masuk islam dan rizkinya cukup dan merasa cukup dengan apa-apa yang
pemberian Allah. (HR Muslim)
C.
Sikap Qona’ah
Sudah dijelaskan bahwa qona’ah merupakan sikap rela menerima dan merasa
cukup atas hasil yang diusahakannya serta menjauhkan diri dari dari rasa tidak
puas dan perasaan kurang. Meski demikian, orang-orang yang memiliki sikap
Qana'ah tidak berarti fatalis dan menerima nasib begitu saja tanpa ikhtiar.
Orang-orang hidup Qana'ah bisa saja memiliki harta yang sangat banyak, namun
bukan untuk menumpuk kekayaan. Kekayaan dan dunia yang dimilikinya, dibatasi
dengan rambu-rambu Allah SWT. Dengan demikian, apa pun yang dimilikinya tak
pernah melalaikannya dari mengingat Sang Maha Pemberi Rezeki. Sebaliknya,
kenikmatan yang ia dapatkan justru menambah sikap qana'ahnya dan mempertebal rasa
syukurnya.
Seseorang yang memiliki sikap qanaah akan menerima dengan ikhlas semua
pemberian Allah swt., dan senantiasa berpikir, Allah telah memberikan
kenikmatan sesuai ukuran kebutuhan kita. Oleh karena itu, ia akan selalu
bersyukur kepada Allah swt. Sikap qanaah bukan berarti bertindak putus asa dalam mencari rezeki Allah.
Manusia harus tetap berusaha mencari karunia Allah dengan cara-cara yang baik
sesuai dengan kemampuan dan bakatnya. Adapun hasil dari usaha itu harus
diterima dengan lapang dada seraya berserah diri kepada Allah swt.[4]
Adapun contoh bersikap
qana’ah dalam kehidupan, diantaranya :
1) Giat bekerja dan berusaha untuk mencapai hasil terbaik.
2) Jika hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan yang diharapkan, tidak mudah
kecewa dan berputus asa.
3) Selalu bersyukur atas apa yang menjadi hasil usahanya, dan tidak pernah
merasa iri atas keberhasilan yang diperoleh orang lain.
4) Hidupnya sederhana dan menyesuaikan diri dengan keadaan, tidak rakus dan
tidak tamak.
5) Selalu yakin bahwa apa yang didapatnya dan yang ada pada dirinya merupakan
anugerah dari Allah SWT.
Perbuatan Qana’ah yang dapat kita lakukan misalnya puas terhadap apa yang
kita miliki saat ini, Maka hendaklah dalam masalah keduniaan kita melihat orang
yang di bawah kita, dan dalam masalah kehidupan akhirat kita melihat orang yang
di atas kita. Hal ini sebagaimana telah ditegaskan Rasulullah dalam sebuah
hadis:
عن ابى هريرة رضى الله عنه : قال رسول الله صلى الله
عليه و سلم. انظروا الى من اسفل منكم,
ولا تنظروا الى من هو فوقكم فهو اجدر ان لا تزدروا نعمة الله عليكم. (متفق عليه)
Artinya; “Lihatlah orang yang di bawah kalian dan janganlah melihat orang
di atas kalian, karena yang demikian itu lebih layak bagi kalian agar kalian
tidak memandang hina nikmat Allah yang dilimpahkan kepada kalian.” (Muttafaqun
Alaih)
Ketika berusaha mencari dunia, orang-orang Qana'ah menyikapinya sebagai
ibadah yang mulia di hadapan Allah yang Maha kuasa, sehingga ia tidak berani
berbuat licik, berbohong dan mengurangi timbangan. Ia yakin
tanpa menghalalkan segala cara apapun, ia tetap mendapatkan rizki yang
dijanjikan Allah. Ia menyadari akhir rizki yang dicarinya tidak akan melebihi
tiga hal; menjadi kotoran, barang usang atau bernilai pahala di hadapan Allah. Bila kita
mampu merenungi dan mengamalkan makna dan pentingnya qona’ah maka kita akan
memperoleh ketenangan dan ketenteraman hidup. Dan hendaknya diketahui bahwa
harta itu akan ditinggalkan untuk ahli waris.
Dalam kehidupan pribadi
setiap muslim, sifat qanaah dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Jiwa akan tenang dan tenteram.
2. Terhindar dari sifat tamak dan dengki.
3. Menimbulkan hati yang sabar dan penuh ketabahan.
4. Terhindar dari kekhawatiran dan keresahan.
5. Selalu puas terhadap nikmat yang diberikan Allah.
6. Sabar atas segala cobaan dari Allah.
2. Terhindar dari sifat tamak dan dengki.
3. Menimbulkan hati yang sabar dan penuh ketabahan.
4. Terhindar dari kekhawatiran dan keresahan.
5. Selalu puas terhadap nikmat yang diberikan Allah.
6. Sabar atas segala cobaan dari Allah.
Masyarakat akan menjadi baik jika dimulai dari kehidupan pribadi yang baik.
Begitu pula manfaat qanaah dalam kehidupan bermasyarakat. Adanya manfaat qanaah
dalam kehidupan pribadi, otomatis dalam kehidupan bermasyarakat pun sifat
qanaah akan bermanfaat. Di antara manfaat sifat qanaah dalam kehidupan
bermasyarakat sebagai berikut:
1. Terjalin hubungan yang harmonis dalam kehidupan bermasyarakat.
2. Tercipta masyarakat yang senantiasa jujur satu sama lain dalam setiap perbuatan.
3. Terhindar dari sifat suka menyakiti dan memfitnah.
4. Terhindar dari sifat saling iri dan dengki.
2. Tercipta masyarakat yang senantiasa jujur satu sama lain dalam setiap perbuatan.
3. Terhindar dari sifat suka menyakiti dan memfitnah.
4. Terhindar dari sifat saling iri dan dengki.
Tidak
diragukan lagi bahwa qona’ah dapat
menenteramkan jiwa manusia dan merupakan faktor kebahagiaan dalam kehidupan
karena seorang hamba yang qona’ah dan menerima apa yang dipilihkan Alah
untuknya, dia tahu bahwa apa yang dipilihkan Allah untuknya adalah yang terbaik
baginya di segala macam keadaan.[5]
Sikap
qona’ah membebaskan pelakunya dari kecemasan dan memberinya kenyamanan
psikologis ketika bergaul dengan manusia. Dzunnun al-Mashri mengatakan: “Barangsiapa bersikap qona’ah maka ia bisa
merasa nyaman di tengah manusia-manusia sesamanya.”
Sebaliknya, ketiadaan qona’ah dalam
hidup akan menyeret pelakunya pada penuhanan materi sehingga kebebasannya
terampas karena kerakusan dalam mencari harta duniawi yang memaksanya berbuat
apapun untuk mendapatkan harta.[6]
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Abdul Qadir
Abu Fariz, Menyucikan JIwa, (
Jakarta: Gema Insani, 2005)
Said bin Musfir
al-Qathani, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, (Jakarta:Darul Falah,
2006), hlm. 509
Muhammad Fauzi Hajjaj, Tasawuf Islam dan akhlak, (Jakarta: Amzah,
2011), hlm. 339
http://nurulhedayat.blogspot.com/2014/06/pengertian-kanaah-dan-manfaatnya.html
[1] Muhammad Abdul Qadir Abu Fariz, Menyucikan JIwa, ( Jakarta: Gema Insani,
2005). Hlm. 242
[2]
http://nurulhedayat.blogspot.com/2014/06/pengertian-kanaah-dan-manfaatnya.html
[5] Said bin Musfir al-Qathani, Buku
Putih Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, (Jakarta:Darul Falah, 2006), hlm. 509
[6] Muhammad Fauzi Hajjaj, Tasawuf Islam dan akhlak, (Jakarta:
Amzah, 2011), hlm. 339
Tidak ada komentar:
Posting Komentar